Negara kesejahteraan saat ini dipandang sebagai bentuk negara hukum yang ideal karena berusaha mewujudkan keadilan secara materiil. Akan tetapi, berbagai kelemahan dalam ranah praktik membuat jenis negara tersebut ditentang oleh para pakar. Padahal, akar masalahnya terdapat pada cara hukum digunakan oleh manusia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang penyusunannya dilakukan dengan menerapkan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini pada pokoknya menyatakan bahwa seperti halnya kekuasaan, hukum perlu dibatasi agar tidak disalahgunakan sebagai sarana untuk melakukan perampasan. Upaya pembatasan tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan menggunakan analisis dampak kebijakan. Namun, implementasi dari analisis seperti itu saat ini masih belum dilakukan dengan optimal karena belum didukung dengan pedoman tunggal mengenai cara pelaksanaannya. Oleh karena itu, Pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Presiden mengenai pedoman penyusunan analisis dampak kebijakan.
Kata Kunci: Negara Kesejahteraan, Pembatasan Hukum, Negara Hukum, Teori Hukum, Hukum
Oleh : Riezky Aditya Ramadhan, Roy Sanjaya, Marco Gregorius Suitela
Terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyarayan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (Permenaker No. 2 Tahun 2022) menimbulkan pro kontra di masyarakat pada awal tahun 2022. Bagi kelompok yang menolak, peraturan dianggap memberatkan karena membuat JHT baru dapat diambil oleh pekerja ketika berusia 56 tahun. Padahal, masih banyak pekerja yang membutuhkan dana JHT akibat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau mengundurkan diri sebelum memasuki usia tersebut. Namun, bagi yang mendukung, Permenaker No. 2 Tahun 2022 dianggap merupakan bentuk penyesuaian hukum dengan perkembangan masyarakat pasca lahirnya Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Berbagai pendapat diatas menunjukkan bahwa masing-masing pihak memiliki alasan untuk tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Hal tersebut tidak perlu disikapi dengan sikap saling menyalahkan. Sebab, situasi ini merupakan momen yang tepat bagi Pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk melakukan introspeksi diri atas peran masing-masing pihak dalam proses pembuatan kebijakan.
Hukum Indonesia melalui Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengambilan, Pengawasan, dan Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan di Tingkat Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah (Inpres No. 7 Tahun 2017); Peraturan Sekretaris Kabinet Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Persiapan, Pelaksanaan, dan Tindak Lanjut Hasil Sidang Kabinet (Perseskab No. 1 Tahun 2018); Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 (Perpres No. 18 Tahun 2020); dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan[1] sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan[2] (UU PPP)[3] telah secara eksplisit mewajibkan pembuat kebijakan untuk melakukan analisis dampak[4] dan melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan[5]. Hal ini tidak berlaku pada konteks pembuatan undang-undang tetapi juga peraturan pelaksanan. Adapun hal tersebut bertujuan untuk memastikan agar setiap kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah bermanfaat bagi masyarakat. Tujuannya adalah untuk mencegah terbitnya peraturan yang tidak perlu, bahkan menimbulkan masalah baru berupa tumpang tindih dan disharmoni pengaturan.
Harus diakui, kewajiban Pemerintah untuk melakukan analisis dampak dan konsultasi publik dalam pembuatan peraturan perundang-undangan merupakan konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan kedaulatan rakyat. Sebab, hal seperti itu telah diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Oleh karena itu, menjadi persoalan bagaimana cara Pemerintah melalui personilnya dapat melakukan kewajiban tersebut secara efektif dan ideal.
Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan peran undang-undang sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat. Hal itu secara implisit menunjukkan perlunya negara hukum Indonesia untuk dilaksanakan secara demokratis agar dapat mewujudkan tujuan negara yang terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Demokrasi adalah penghubung antara hukum dengan negara, baik dari segi kekuasaan maupun tujuan. Kondisi itu membuat demokrasi menjadi unsur penting dalam penyelenggara negara, terlepas pada fakta bahwa keberadaannya seringkali memberikan paradoks karena:[6]
Demokrasi membutuhkan konflik, tetapi terlalu banyak konflik mengakibatkan instabilitas;
Demokrasi wajib menyeimbangkan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan, tetapi pemerintah wajib bergerak cepat dalam mengatasi masalah tanpa tersandera oleh hukum; dan
Demokrasi adalah dasar legitimasi yang menjadi prasyarat bagi timbulnya kesepakatan dalam mewujudkan efektivitas, tetapi efektivitas tidak selalu membutuhkan kesepakatan.
Analisis dampak kebijakan dan pelibatan masyarakat dalam pembuatan peraturan merupakan salah satu cara untuk memitigasi dampak buruk demokrasi pada suatu negara. Dalam hubungannya dengan Permenaker No. 2 Tahun 2022, tingginya penolakan masyarakat menunjukkan pentingnya keterbukaan Pemerintah dalam proses penyusunan kebijakan. Masyarakat, khususnya kelompok pekerja peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan perlu dilibatkan. Komunikasi antara Pemerintah dengan para pemangku kepentingan juga harus dijaga, terlepas dari banyak faktor yang menyebabkan upaya tersebut terasa sulit dilakukan[7]. Terobosan kebijakan perlu dirumuskan dalam mendukung hal tersebut. Salah satunya dengan mengoptimalkan peran teknologi dan informasi dalam mengoptimalkan analisis kebijakan dan proses konsultasi publik yang dilakukan. Konsultasi publik tidak harus menghasilkan kesepakatan atas suatu rencana kebijakan. Namun, pelaksanaannya dapat diarahkan untuk memastikan agar masyarakat memperoleh informasi yang utuh atas suatu peraturan perundang-undangan. Jangan sampai terbitnya suatu peraturan perundang-undangan gagal menjawab masalah, bahkan memicu aksi-aksi demokrasi yang berujung pada terjadinya vandalisme terhadap masyarakat dan fasilitas umum, mengingat hal tersebut hanya akan merugikan semua pihak.
[1] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
[2] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398.
[3] Adapun saat ini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801).
[4] Dalam Inpres No. 7 Tahun 2017, Diktum Ketujuh dari Instruktsi Presiden tersebut pada intinya mewajibkan Menteri dan Kepala Lembaga agar melakukan analisis dampak kebijakan, termasuk analisis risiko, dan konsultasi publik sesuai peraturan perundang-undangan sebelum menerbitkan suatu kebijakan.
[5] Dalam konteks pelibatan masyarakat, hal ini terkait dengan konsultasi publik sebagaimana diatur dalam BAB XI UU PPP, khususnya Pasal 96 yang menyatakan bahwa masyatakat berhak untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, atau diskusi.
Pandemi COVID-19 saat ini telah menjadi ancaman bagi seluruh aspek ketahanan nasional. Berbagai regulasi telah dikeluarkan untuk permasalahan ini dan implementasinya diharapkan dapat diterapkan secara selaras dengan tata kelola peraturan. Terutama dalam kaitannya dengan pembuatan kebijakan. Adapun penelitian ini membahas tentang bagaimana implementasi economic analysis of law sebaiknya dilakukan guna menjamin efektifitas dan efisiensi kebijakan agar peran kebijakan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat dilaksanakan secara optimal. Termasuk dalam kaitannya dengan penanggulangan COVID-19.